Sejarah menulis bahwa tahun 1700-an, marga Tanjung dapat mencapai tampuk kekuasaan dan menjadi raja di Sorkam dengan raja pertamanya Raja Junjungan Tanjung Gelar Datuk Bungkuk (Datoek Boengkoek). Sorkam memisahkan diri dari kesultanan Barus, paska konflik keluarga di istana Barus.
Junjungan Tanjung berasal dari Sipultak, Humbang, Toba. Dia berkuasa di Kerajaan Sorkam pada tahun 1757 Masehi. Sebagai sebuah daerah yang otonom dari pengaruh Kesultanan Barus, Sorkam selalu berada dalam bayang-bayang hegemoni raja-raja Barus.
Pada awal tahun 1992, dalam sebuah upaya pencarian sejarah, dibentuklah panitia pemugaran makam dan penyusunan silsilah sembilan tarombo di Sorkam. Keturunan Raja Junjungan Gelar Datuk Bungkuk Tanjung bertugas merajut kembali sejarah para raja-raja Sorkam. Namun usaha ini belum tuntas melakukan usaha pencarian jejak tersebut.
Yang berhasil ditemukan dalam pemakaman kuno tersebut adalah sebuah prasasti Raja Janko Gelar Datuk Raja Amat Tanjung, yang wafat sekitar tahun 1269 H. Kemudian makam Muhammad Amin Tanjung, wafat sekitar tahun 1926 M di Laut Sakutra tak lama berselang menunaikan ibadah haji.
Juga ditemukan sebuah nisan tergeletak di semak belukar dalam posisi miring. Besar dugaan, nisan ini adalah nisan raja Sorkam lain yang hidup pada tahun 1645 M. Selain ini ada beberapa nisan lain yang masih dalam tahap identifikasi.
Dinasti Tanjung adalah sebagai berikut:
1. Raja Junjungan Tanjung (1758-1778)
2. Raja Maiput Tanjung Gelar Datuk Tukang (1778-1792)
3. Raja Jangko Alam Tanjung Gelar Datuk Rajo Amat (1792-1806)
4. Abdul Hakim Datuk Naturihon Tanjung Gelar Rajo Amat I (1806-1841) anak pertama dari no. 3.
5. Raja Parang Tua Tanjung Gelar Datuk Amat II (1841-1853) Sejak saat ini kekuasan Sorkam terbagi lima ke masing-masing anak Raja Parang Tua, diantaranya adalah:
6. Raja Dusun Derak Alam Tanjung gelar Sultan Maharaja Lela (1853-1872)
7. Raja Muhammad Amin Tanjung gelar Sultan Hidayat (1872-1915)
8. Raja Muhammad Hussin Tanjung, gelar Sultan Rahmat Alam (1916-1942).
Keturunan raja-raja Sorkam ini kemudian menyebar ke penjuru nusantara paska kepunahan kerajaan. Beberapa ada yang merantau sampai ke Malaysia.
Dalam konflik antara Fakih Amiruddin dan Sisingamangaraja X, 1818-1820 M, seorang panglima bernama Syarif Tanjung dipercaya oleh Sisingamangaraja X untuk mengamankan Dairi. Jenderal Syarif Tanjung menjadi tangan kepercayaan Sisingamangaraja X dalam menghadapi kekuatan Padri dari minang yang dipimpin oleh bere Sisingamangaraja sendiri Fakih Amiruddin. Dia dipercaya memimpin sebuah benteng di Dairi. Syarif Tanjung bersama kaum muslim Batak lainnya berseberangan dengan kekuatan muslim Batak dalam kelompok Padri. Hal ini dikarenakan orang-orang Batak Padri ingin memurnikan agama yang dianut muslim Batak yang dianggap banyak menyimpang dan bercampur dengan adat. Sebenarnya, marga Tanjung dan muslim adat tersebut mengajarkan agama yang kaffah juga, hanya saja kepercayaan mereka berdasarkan ajaran para pendahulu yang lebih dipengaruhi oleh tarekat, bau syiah dan tasawwuf, sedangkan para Batak Padri dipengaruhi oleh faham baru yang berkembang saat itu. Konflik ini berkembang lebih luas dalam peta kekuatan kerajaan Batak di satu pihak dan kelompok Padri Batak di pihak lain.
Benteng-benteng kedua belah pihak yang bertikai adalah:
Benteng Silantom di Humbang dipimpin oleh Soaloon Harianja. Benteng Simangumban, Pahae dijaga oleh Raja Pandikar Siregar dengan anak buahnya Amanibinsar Sinambela seorang teman sepermainan di waktu kecil Fakih Amiruddin. Benteng Pangaloan di Pahae dipimpin oleh Raja Gading Nainggolan. Benteng Tanggabatu di Humbang dipimpin oleh Sisingamangaraja X sendiri. Benteng Paranginan di Humbang dipimpin oleh Raja Amantaras Sianturi. Benteng Muara dipimpin oleh Ronggur Simorangkir. Benteng Bakkara dipimpin oleh Putra Mahkota Amandippu Sinambela. Benteng Tamba dipimpin oleh Parultop Sinambela.
Rakyat Batak Muslim yang dianggap sebagai golongan adat juga mendukung kekuasaan Sisingamangaraja X di berbagai tempat. Salah satu putra terbaik mereka telah menjadi panglima Sisingamangaraja X di Benteng Salak Dairi yaitu Panglima Syarif Tanjung, seorang yang menjadi teman dekat Raja. Benteng ini merupakan sistem pertahanan Sisingamangaraja X untuk mengamankan Salak Dairi sebagai ibukota kedua pemerintahan Sisingamangaraja X
Benteng Tanjungbunga dipimpin oleh Raja Baganding Sagala. Benteng Dolok Sanggul dipimpin oleh Raja Humirtok Rambe, seorang Raja daerah Tukka dekat Barus yang sering bertindak sebagai duta besar ke Aceh. Benteng Laguboti dipimpin oleh Raja Sahala Simatupang.
Perang ini dimenangkan oleh Fakih Amiruddin dengan pasukan Padri Bataknya dan mendirikan pemerintahannya di Tanah Batak dengan ibukota Siborong-borong.
Istana pemerintahan Fakih Amiruddin berpusat di Siborong-borong pada sebuah gedung yang setelah kepergian Fakih Amiruddin, tahun 1800-an, istana tersebut menjadi rumah kediaman pegawai Controleur/BB Belanda.
Wilayah kekuasaan Fakih Amiruddin di Uluan, Porsea diberikan dalam tanggung jawab Mansur Marpaung. Mansur Marpaung sendiri selain sebagai panglima pasukan Fakih Amiruddin, juga merupakan putra daerah Porsea. Paska perang, dia menduduki Asahan dan menjadi Tuanku Asahan. Kantor pemerintahan Mansur Marpaung sekarang menjadi sebuah mesjid di Porsea. Di Uluan juga, yang bukan wilayah Mansur, memerintah Alamsyah Dasopang kantornya berada dalam sebuah rumah yang kini menjadi sebuah pasar.
Wilayah Toba berada dalam kepemimpinan Panglima Idris Nasution dan kantornya berada di Laguboti yang kemudian di zaman Belanda menjadi sekolah pertukangan. Panglima lain, Jagorga Harahap menjadi penanggung jawab daerah Pahae Silindung, dan kantor pemerintahannya berada di Sigompulon yang pada zaman Belanda berubah menjadi HIS/Sigompulon. Di wilayah Silindung yang lain memerintah Raja Gadumbang yang berkantor di Pearaja sebuah tempat milik Jagorga Harahap alias Tuanku Daulat dalam bisnis garam dan di zaman Belanda dirampas menjadi kantor pusat HKBP.
Panglima yang lain yakni Pemasuk Lubis alias Tunaku Maga memimpin sebuah sekolah di bawah pemerintahan Fakih Amiruddin di Sipoholon yang sekarang menjadi Sekolah Pendeta HKBP. (Sumber: Tuanku Rao, Ompu Parlindungan)
Kekuasaan Fakih Amiruddin berakhir saat tewasnya Fakih dan beberapa panglimanya dalam sebuah usaha mengusir penjajah di Air Bangis.
Posting Komentar